Rabu, 06 Agustus 2014

Pesan Terakhir Ayah

Aku terbangun tak kala ibu ku memanggil namaku dari luar kamar, "Tika, bangun kak nanti telat loh brangkat kesekolah. Ini kan hari pertama kamu masuk ke SMA." Dengan mata yang masih sayup, namun semangat untuk ke sekolah baruku menuntunku ke kamar mandi. Selesai aku mandi, adik ku berkata bahwa ia akan berangkat kesekolah sendiri. Tidak biasanya dia berangkat ke sekolah sendiri, pasti ia berangkat bersama aku dan ayah. "Edo, kamu mau kemana? Sini sarapan dulu baru jalan", adik ku yang satu ini memang sangat nakal namun aku sangat menyayanginya.
Tanpa pikir panjang, edo pun langsung berlari keluar rumah untuk berangkat kesekolah sembari berkata "Sarapan edo kasih ke ayah aja bu, Edo takut telat". Sekarang tinggal ibu ayah dan aku dirumah, kami tertawa bersama ketika menyantap sarapan dipagi itu. Ayahku adalah seorang pegawai swasta, kerjanya pun hampir tiap malam sampai pagi. Sambil meneguk segelas air putih, ia menelan sejumlah tablet obat-obatan, ya ayahku mengidap penyakit jantung. Ibu selalu mengingatkan ayah agar ia tidak terlalu memaksakan diri, namun itulah hebatnya ayahku. Ayahku bekerja keras demi aku dan adikku yang masih mengenyam pendidikan tingkat sd kelas 5.

"Ibu aku pamit dulu yaa, takut telat nih. Ini kan hari pertama aku ke SMA bu, aku gamau telat hehe", seraya aku mencium telapak tangan ibuku. Suara motor sudah berbunyi, tandanya ayah akan mengantarku hari ini. Saat aku lekas berangkat bersama ayah mengendarai sepeda motor, tidak biasanya ayah melambaikan tangan ke ibuku. Mungkin ayah rindu dengan ibu, pikirku. Selama diperjalanan ke sekolah, ayah banyak berpesan kepadaku. Dengan polosnya aku mendengarkan dan berjanji pada ayah untuk menepatinya, aku senang sekali setiap kali ayah menasihatiku. Ayahku tidak pernah memarahiku, dia sangat menyayangiku. Tak lama kemudian aku sampai didepan gerbang sekolah yang akan menjadi rumah kedua ku, sepertinya aku akan nyaman berada disini. Usai turun dari sepeda motor, aku langsung mengantar ayah menuju ruang tata usaha. Ayahku hendak membayar lunas SPP untuk satu semester, setelah menyerahkan sejumlah uang ayah ku pun menerima bukti pembayaran berupa kuitansi

Beberapa menit kemudian, ayah ku kembali ke parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Aku yang sedari tadi mengikuti ayahku berhenti melangkah dan berkata, "Ayah mau kemana?" tidak biasanya aku bertanya seperti ini namun perasaan akan berpisah terus mnggerogoti pikiran ku. "Ayah kan mau pulang, sekalian kasih kuitansi ke ibu kamu nak. Oh iya jangan nakal ya disekolah, ayah udah bayar semua biaya untuk satu semester kamu nanti. Ayah juga udah bilang ke pak guru supaya jagain kamu biar ga nakal, jadi anak yang pintar ya nak. Ayah pulang dulu" pamit ayahku sembari memberikan jemarinya untuk ku salim.

Roda sepeda motor pun berputar cepat, sepeda motor ayahku pun melaju meninggalkan sekolah ku. Tak beberapa lama aku bertemu teman-teman ku, dan bercanda bersama, sampai akhirnya bell berbunyi. "Ayo hari ini apel kelas 10,11,12" teriak seorang guru bimbingan konseling. Aku lekas mengambil topi, dasi, dan gesper sebagai pelengkap seragam biru abu-abu ini. Saat aku hendak keluar kelas, secara tiba-tiba seorang guru memanggil dan mencari ku. "Tika! Mana yang namanya Tika?", teman-temanku pun langsung menunjuk kearah ku. Dengan muka panik guru itu menghampiri ku, dan bertanya "Kamu yang namanya tika?" aku pun mengangguk dan bertanya kembali "Kenapa? Ada apa pak?" Namun entah kenapa guru tersebut hanya menyuruhku untuk mengikuti apel pagi bersama.

Pikiranku sudah tidak karuan, dengan perasaan yang campur aduk. Entah apa yang disembunyikan dari ku, rasanya aku lemas dan tidak sanggup berdiri. Memang seperti ada sesuatu yang membuat jantungku berdegup kencang, terngiang sudah wajah panik guru yang menghampiriku tadi. Selesai apel seorang ibu guru menarik ku dari barisan yang akan bersalam-salaman, karena hari ini adalah halal bi halal. "Kamu ambil tas kamu, sama semua perlengkapan kamu", aku terkejut dan heran. Aku bergegas mengambil barang-barangku dan kembali menghampiri ibu guru tadi, "Kenapa bu? Aku mau dibawa kemana?" tanyaku lugu. "Kamu ibu antar pulang ya nak" jawab guru tersebut, "Iya, tapi kenapa bu? Ada apa?" Sedikit penasaran dan rasa kesalku yang sudah terbendung sedari tadi. Mengapa mereka seolah-olah merahasiakan sesuatu dibelakang ku? Entah apa, namun aku sudah dalam perjalanan menuju rumah. Banyak kerumunan orang didepan gang rumah ku, aku tidak berfikir panjang dan langsung berlari ke rumah. Ibu ku tidak sadarkan diri, dan adikku sedang menangis seraya meronta-ronta memanggil ayahku.

Deg..
Jantungku seakan berada di arena pacu kuda, entah secepat apa. Aliran darahku pun seperti naik, aku seperti mimpi. Aku bingung, aku sadar, namun aku masih tidak bisa mempercayai apa yang terjadi. Seorang perempuan memeluk ku dengan erat, air matanya sudah deras mengalir. Aku mengenal dia, ya dia adalah kakak dari ibu ku. Dengan perasaan bercampur aduk, tiba-tiba setetes air mata mengalir. Seperti halnya sebuah tanggul yang bocor, air mataku sudah tidak terbendung lagi. Teriak ku pun sudah tidak terkendali lagi, entah apa yang kurasakan. Dengan menangis seperti ini, aku merasa lega namun hampa. Seperti ada lubang besar yang menekan hatiku, membuatku bingung. Aku hanya bisa memeluk sosok perempuan yang sedari tadi menangis. Aku malu, entah apa yang aku perbuat. Tangisan kembali pecah ketika keranda yang ditutup kain berwarna hijau dihiasi kaligrafi, aku bingung. Bingung, aku hanya bingung. Kenapa ini bisa terjadi? Kerumunan orang berada dirumah ku, apa yang terjadi? kenapa bisa secepat ini?. Cercaan pertanyaan di kepala ku, semakin memperburuk keadaan.

"Awas hati-hati" teriak seorang ustad kepada pembawa keranda tadi, sembari membacakan surah-surah Al-Quran. Sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan, tergeletak didepan mataku yang sudah tidak sanggup melihat. Dipindahkannya jenazah itu diatas kasur yang sudah disiapkan, dan disampingnya disiapkan buku yasin. Tak beberapa lama, ikatan jenazah itu dibuka dan kapasnya pun diambil. "AYAH! Itu ayaahku" teriakku kepada sesosok jenazah yang sudah kaku berbaring dikasur. Ibu ku pun tersadarkan dan kembali menangis, seraya mencium pipi ayah ku yang sudah dingin dan kaku. Dengan lemasnya, aku memeluk jasad ayahku. Ku pegang wajahnya yang dingin, kasian dia. Sepertinya dia kedinginan, apa yang terjadi dengan ayah. Aku belum siap untuk melepasnya, mengapa ada banyak orang yang bertamu kerumah ku. Ini seperti miimpi. Tidak, ini tidak mungkin ini terjadi. Ayahku sudah berjanji akan mengantarku setiap aku akan berangkat ke sekolah baru ku itu, namun ayah berbohong. Ayah hanya mengantarku sekali, mengapa ia membiarkanku berangkat kesekolah baru sendiri? Sedangkan ia sudah berjanji padaku? Entahlah, aku sudah hampa. Benar-benar tidak merasakan apa pun.

Pak Guru yang tadi menyapaku datang mengunjungi rumah ku, aku dan seragam ku yang sudah lusuh pun lemas. Ibu ku pun menangis sejadi-jadinya, adikku pun menangis disamping ibuku. Aku, sendiri berada dikaki ayahku. Kaki seorang ayah yang membanting tulang demi menghidupi keluarga. Usut punya usut, ternyata polisi setempat mengetahui bahwa ayah itu adalah ayahku dari kuitansi pembayaran sekolah. Secarik kertas bertuliskan alamat sekolah dan nominal uang, serta dibubuhkan tanda terima dari sekolah. Ayah ku yang pamit untuk kembali pulang, ternyata dia benar-benar pulang. Selamat jalan ayah, aku akan berjanji menuruti semua nasihatmu. Suatu saat nanti, aku akan menagih janji mu untuk mengantarku ke sekolah baruku lagi...











.

1 komentar:

  1. PS : Ini kisah nyata dan terjadi dihari yang sama saat saya membuat cerita ini

    BalasHapus